Rutinitas harian yang kita lakukan kerap kali membuat bosan, ditambah bonus kemacetan yang menemani setiap dua kali sehari. Ini akan memegaruhi kesehatan jiwa dan raga kita. Tidak dapat dipungkiri, kemacetan memang menjadi bagian dari kota-kota besar yang ada di Indonesia, termasuk Sidoarjo, kota dengan ikon udang ini bersebelahan dengan kota Surabaya.
Lokasinya yang tak jauh dengan Surabaya, menjadikan Sidoarjo menjadi alternatif untuk tempat tinggal bagi banyak orang yang bekerja di Surabaya. Tentu saja harga propertilah yang menjadi faktor penyebabnya. Kemacetan yang ada di Sidoarjo menjadi menu wajib yang memuakkan bagi banyak orang. Terkadang, lingkungan alam yang asri menjadi obat tersendiri yang dibutuhkan di kala lelah melanda. Kampung Literasi Bendo Macrame adalah salah satu alternatifnya.
Kampung Literasi yang terletak di RT 01 RW 01, DesaTebel, Kecamatan Gedangan, Sidoarjo ini, bisa menjadi alternatif untuk menyegarkan kembali otak sekaligus belajar banyak hal. Sembari menikmati buku bergizi, dengan semilir angin dan tawa renyah dari boca-bocah kecil yang sedang main di sungai, akan memberikan kebahagaian tersendiri bagi kita.
Selain dapat bernostalgia dengan masa kanak-kanak, kita juga bisa berlajar tentang banyak hal. Termasuk tentang kebahagiaan sederhana dari kampung ini, yang memberdayakan masyarakatnya melalui literasi.
Banyak hal yang menarik dari kampung ini, terutama adalah perpustakaannya. Perpustakaan utama yang terletak di sebelah rumah Pak Suroto sang pendiri yang berkolaborasi dengan Bait Kata library (sebuah perpustakaan pribadi) untuk melahirkan kampung literasi.
Perpustakaan dengan material dari bambu ini, menghadap sungai bersih dari sampah, yang memberi kesan alami. Ditambah tanaman yang tumbuh rindang, menambah asyik suasana dan membuat betah untuk menghabiskan banyak waktu di sana.
Selain perpustakaan utama, kampung ini juga menyediakan perpustakaan mikro yang disingkat mili. Konsep dari mili pun tergolong unik dengan menerapkan konsep perpustakaan kejujuran, jadi siapa saja boleh memijam buku dan membaca buku yang tersedia dalam rak mili.
“Jika ada buku yang hilang, anggap saja orangnya lagi butuh atau senang banget sama buku itu,” ucap Pak Suroto ketika saya berkunjung. Di beberapa mili, juga terdapat tempat duduk untuk membaca dengan suasana kampung yang nyaman.
Selain perpustakaan, kampung ini juga tersedia literasi tanaman, yang menjadi ikonnya adalah lidah buaya. Tanaman kaya manfaat ini berhasil dibudidayakan dan digunkan sebagai bahan untuk membuat minuman segar dengan kaya manfaat.
Produk ini dibuat oleh ibu-ibu warga sekitar yang ada di kampung ini. Mereka sudah mendapat banyak pelangan karena rasanya yang segar. Rencananya, mereka akan membuat kue yang berbahan lidah buaya, menarik sekali bukan?
Di kampung ini juga menyediakan beragam permainan tradisional yang saat ini mulai ditingalkan. Gagasan ini tercetus atas keprihatinan Pak Suroto melihat anak-anak di kampungnya yang lebih asyik bermain dengan gadget.
Ada yang sangat menarik dan mencolok yang menjadi ciri khas dari kampung ini ketika kita berkunjung. Kita akan dibuat kagum oleh mural hasil karya masyarakat setempat yang ada di hampir setiap dinding rumah. Tak hanya keindahan muralnya, pesan dan kutipan di sini akan menggetarkan hati kita ketika membacanya.
Kampung Literasi ini sangat unik dan menarik, berada di tengah-tengah kota Sidoarjo yang dikepung oleh industri dengan cerobong pabrik yang mengepulkan polusi saban harinya. Ditambah polusi asap kendaran bermotor yang beredar dari pagi hingga petang.
Kisah perjuangan merintisnya pun tak kalah syahdu. Ada banyak hal yang bisa kita pelajari di sana, ada banyak kebahgiaan yang ditawarkan di setiap sudutnya. Menanam adalah cara mereka melawan pencemaran. Dengan buku mereka membuka jendela dunia, selamat belajar dan berbahagia.