Mendengar kata Glodok, mungkin yang langsung terlintas di pikiran adalah toko elektronik dengan harga miring. Tapi tahu tidak Teman Traveler, kalau Glodok merupakan kawasan pecinan di Jakarta yang menyimpan banyak sejarah panjang, khususnya untuk etnis Tionghoa.
Kawasan ini hadir setelah terjadinya peristiwa geger pecinan pada zaman penjajahan Belanda, yang menyebabkan 10 ribu jiwa etnis Tionghoa kehilangan nyawa. Sedangkan nama Glodok sendiri diambil dari suara pancuran sumber mata air yang berbunyi ‘glodok, glodok’. Apa saja sih bisa kita lihat di sepanjang pecinan Jakarta ini? Yuk ikuti perjalanan ke Glodok!
Gedung Candra Naya
Candra Naya berada di tengah-tengah hotel Novotel dan Starbucks di Jalan Gajah Mada. Dulunya, ini merupakan tempat tinggal Bapak Khouw Kim An, seorang pemuka komunitas keturunan Tionghoa. Kini bangunan ini disulap menjadi cagar budaya sebagai saksi perjalanan etnis Tionghoa di Jakarta.
Desain bangunan ini sangat kental dengan nuansa Tiongkok. Bagian atapnya dibuat melengkung di semua sisi yang bentuknya menyerupai walet. Bagi warga Tionghoa, walet merupakan lambang kemakmuran.
Untuk masuk ke sini, Teman Traveler tidak akan dipungut biaya sama sekali. Saat menjelajahi setiap ruangan, banyak sekali filosofi hidup orang Tiongkok. Salah satunya adalah San Ji Zing, karya Wang Yi Lin zaman Dinasti Sung, yang mengajarkan untuk berbuat baik dari kecil agar tidak terpengaruh oleh buruknya lingkungan sekitar.
Pantjoran Tea House
Beranjak dari Candra Naya, menuju Pantjoran Tea House yang lokasinya tepat di seberang Glodok City Plaza. Dulu bangunan ini merupakan Apotheek Chung Hwa, toko obat tertua di Jakarta. Namun setelah direvitalisasi pada 2015, bangunan ini menjadi kedai teh Pantjoran Tea House.
Menariknya, setiap hari pemilik kedai akan memberikan teh gratis kepada siapa pun yang ingin menyicipi teh oolong asli dari Tiongkok. Dan saya pun mencoba nikmatnya teh tersebut, yang konon bisa menambah stamina. Rasanya sangat segar dan memberi semangat untuk bisa melanjutkan jelajah lokasi berikutnya.
Jajaran Toko Obat
Tak jauh dari Pantjoran Tea House, Teman Traveler akan melihat deretan sentra toko obat herbal Tiongkok terbesar di Indonesia. Puluhan toko menyediakan obat sekaligus pengobatan tradisional Tiongkok. Pasiennya pun tidak hanya warga keturunan Tiongkok saja, masyarakat lokal pun banyak yang mengantre.
Menurut mereka, mengonsumsi obat herbal jauh lebih manjur ketimbang minum obat racikan dokter. Sentra toko obat ini mulai buka sejak pukul 08.00 sampai 18.00. Kawasan ini selalu ramai pengunjung sehingga tak jarang menjadi salah satu penyebab kemacetan.
Pasar Petak Sembilan
Beralih ke tempat berikutnya, yaitu Pasar Petak Sembilan yang menjual ragam pangan khas Tiongkok. Menariknya, di pasar ini juga banyak dijual bahan masakan yang tak ditemukan di pasar lain, seperti katak, bulus atau teripang. Pastikan Teman Traveler untuk tidak menyentuh sembarangan setiap bahan makanan yang dijual di sana ya. Kamu bisa kena marah penjual karena bahan yang dijual memang masih sangat segar.
Kalau Teman Traveler mau kulineran di sini juga bisa lho. Banyak makanan khas Tiongkok yang bisa ditemui, seperti choipan, hidangan berupa kroket kukus yang berisi bengkuang. Choipan merupakan kuliner asli Pontianak yang jarang sekali ditemui di Pulau Jawa.
Lalu ada juga mipan yang terbuat dari tepung beras yang diberi topping bawang putih dan disirim saus gula merah. Penasaran dengan rasanya? Datang saja ke Pasar Petak Sembilan.
Vihara Dharma Bhakti
Di kawasan Petak Sembilan, kita juga akan menemukan Vihara Dharma Bakti yang sudah berdiri lebih dari tiga abad. Pada Maret 2015, vihara ini sempat terbakar dan menghanguskan sebagaian besar altar. Proses renovasi sudah mulai dilakukan sampai saat ini, agar vihara yang ramai dikunjungi wisatawan internasional ini bisa kembali seperti semula.
Gereja Katolik Santa Maria de Fatima
Jika dilihat dari luar, bangunan nampak seperti rumah biasa. Tapi setelah masuk ke dalam, mata kita akan dimanjakan dengan tampilan arsitektur gereja yang memadukan unsur Tionghoa dan Betawi. Bahkan penampilan Bunda Maria di gereja ini dibuat dengan sangat lokal, yaitu mengenakan kebaya. Karena mayoritas jemaatnya adalah etnis Tionghoa, jadi seminggu sekali ada misa yang menggunakan bahasa Mandarin.
Buat Teman Traveler yang ingin menjelajah pecinan Jakarta, disarankan menggunakan outfit yang nyaman dan tidak mencolok. Jadi, kalau Teman Traveler ingin lebih mengenal lebih banyak sejarah etnis Tionghoa di Jakarta, silakan mampir ke daerah Glodok.