Teman Traveler tentu sudah tak asing dengan Jalan Malioboro, jantungnya Jogjakarta. Membentang sepanjang satu kilometer, kawasan ini seolah tak pernah sepi wisatawan. Hampir tiap hari Malioboro tampak padat, apalagi saat akhir pekan dan musim liburan.
Banyak hal menarik bisa ditemui di jalan ikonik Jogja ini, mulai dari penjual cendera mata dengan harga miring, lapak makanan tepi jalan, trotoar ramah pejalan kaki, andong yang siap mengantar Teman Traveler berkeliling, sudut-sudut Instagenic, hingga hiburan menarik dari kelompok pengamen jalanan.
Namun tahukah Teman Traveler bahwa peran Malioboro bagi Jogjakarta lebih besar dari yang kalian bayangkan? Hal ini bahkan sudah dimulai sejak masa lampau. Penasaran? Yuk, ikut saya melakukan perjalanan ‘lintas waktu’ di Jalan Malioboro.
Pembangunan Terpusat
Semua dimulai pada 1760, ketika Perjanjian Giyanti membelah Kerajaan Mataram Islam menjadi dua: Surakarta dan Jogjakarta. Seiring kesepakatan ini, Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwono I memulai pembangunan Jogja dengan bantuan pihak Belanda. Dimulai dari berdirinya Benteng Vredeburg, yang semula hanya benteng sederhana dengan tembok kayu dan atap ilalang, menjadi bangunan kokoh dan difungsikan sebagai tempat pemukiman warga Belanda.
Di sekitar Vredeburg kemudian dibangun beberapa bangunan yang kini jadi landmark Jogjakarta seperti Bank Indonesia (dulu De Javasche Bank) gedung Kantor Pos Indonesia (dulu Telegraaf en Telefoon Kantoor), dan gedung Bank Nasional Indonesia (dulu bernama Nederlandsch – Indische Levensverkeringen en Lijfrente Maatschappij).
Semua bangunan tersebut berada di titik nol Jogja, daerah yang juga kerap dipadati wisatawan. Namun yang lebih penting, pembangunan pesat tersebut sekaligus jadi pertanda bahwa Malioboro akan jadi pusat pengembangan Kota Gudeg di masa-masa mendatang.
Peran Masyarakat Tionghoa
Pergerakan roda perekonomian di Jalan Malioboro tak bisa dilepaskan dari pengaruh masyarakat Tionghoa, yang sejak dulu sudah dikenal jago berbisnis. Hal ini pula yang jadi dasar keputusan Sultan Hamengkubuwono I memberikan lahan khusus untuk dikelola dan ditempati warga Tionghoa di Kampung Ketandan.
Lokasinya masih di sekitaran Malioboro dan sangat strategis. Menjelang Imlek, kawasan ini selalu tampak meriah serta lebih ramai. Apalagi jika sedang digelar acara Pekan Budaya Tionghoa. Teman Traveler sudah pernah ke sini?
Pengaruh budaya Tionghoa di Malioboro tak hanya sebatas di sektor ekonomi, namun juga di segi arsitektur. Rumah-rumah di sekitar Kampung Ketandan dibangun dengan prinsip berdagang. Terdiri dari dua lantai, dengan lantai dasar sebagai toko sementara lantai atas sebagai tempat tinggal.
Beberapa rumah toko lawas tersebut masih beroperasi hingga sekarang. Salah satunya Toko Roti Djoen, tertua di Jogjakarta. Selain itu masih ada beberapa toko obat tradisional Tionghoa di sekitara Malioboro.
Malioboro Kini
Meski sudah melewati beberapa dekade, peran Malioboro sebagai pusat ekonomi Jogja masih belum berubah. Kawasan ini juga semakin berkembang dengan status destinasi wisata. Pedagang cendera mata berjejer di tepi jalan, menawarkan segala bentuk kerajinan menarik dengan harga murah.
Ibarat roda, Malioboro terus berputar tanpa kenal lelah. Belakangan, kawasan ini bahkan semakin nyaman usai pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan Selasa Wage. Selama hari itu semua aktivitas ekonomi akan dihentikan dan diisi acara bersih-bersih sepanjang jalan.